Buddhisme, Sangha, dan Proses Demokrasi di Indonesia

 

 

Hakekat sejati demokrasi adalah kedaulatan rakyat, bahwa setiap manusia adalah sama. Ia merupakan antitesis dari feodalisme purba di mana raja atau penguasa dianggap sebagai dewa atau wakil Tuhan yang harus ditaati. Di sini Buddhis menolaknya karena menurut Dharma, setiap orang dilahirkan secara sama yang merupakan akar dari demokrasi.

 

Sangha sendiri merupakan wujud dari demokrasi. Istilah ini telah ada jauh sebelum zaman Buddha. Sangha merupakan sebuah bentuk dari republik, suatu organisasi demokratis yang berlaku di sejumlah negara kecil di India Utara. Negara Sakya milik Buddha dan negara Koliya sendiri dipimpin oleh sebuah bentuk sangha, mereka memilih perwakilan untuk memerintah.

 

Sangha para biku yang didirikan Buddha oleh karena itu merupakan tiruan dari sistem yang ada saat itu dalam bentuk yang paling maju. Sangha terbuka untuk siapa saja, baik pria maupun perempuan, kelas atas maupun bawah. Sekali seseorang bergabung ke dalam Sangha, dari orang terpandang, orang miskin, prostitusi, pengemis, atau bahkan raja sekalipun, mereka menjadi sama. Jadi persamaan merupakan kunci memasuki Sangha. Sangha merupakan nilai pembebasan itu sendiri. Pembebasan dari segala macam kasta, harta, dan kepemilikan, bahkan sejatinya bebas dari keserakahan, kebencian, kelahiran, dan kematian. Sangha merupakan kunci dari prinsip-prinsip demokrasi di dalam Buddhis. Namun sayang karena saat ini banyak Buddhis yang tidak menyadari hal ini, bahkan dalam banyak kasus, Sangha pun telah banyak berkompromi dengan kekuasaan negara dan menjadi begitu kapitalis.

 

Salah satu tokoh pembebasan Buddhis yang secara keras mengkritik keberadaan Sangha masa kini adalah Dr Ambedkar, Bapak Konstitusi India. Saat ia didaulat untuk berbicara pada Konferensi Persaudaraan Buddhis Dunia (WFB) ke-4 di Kathmandu, Ambedkar dengan tegas berkata:

 

“Bila saya boleh menyimpulkan, bila ada marabahaya yang muncul terhadap Dharma di negara-negara Buddhis, maka kesalahan harus diarahkan kepada para biku, karena saya secara pribadi melihat bahwa mereka tidak menjalankan tugas yang diemban mereka. Di mana kah Dharma itu berada? Sahabat, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak bermaksud mengkritik siapa pun, tapi agar agama dapat menjadi kekuatan moral bagi pembebasan dan pembaharuan masyarakat, kalian harus terus menerus membabarkan ‘kebenaran’ ke telinga rakyat.”

 

Ambedkar sejak awal memang dikenal sebagai tokoh pembebasan yang meletakkan dasar-dasar demokrasi bangsa India. Ia pembela kaum Dalit (kaum tak tersentuh yang lebih rendah dari kasta terendah, bahkan menyentuh bayangannya saja dianggap nista) secara kukuh. Bagi Ambedkar, istilah persaudaraan, persamaan, dan pembebasan yang tercetus pada Revolusi Perancis, sesungguhnya telah lama digunakan oleh Buddha, yang kemudian dikonkritkan dengan dibentuknya Sangha. Namun, Ambedkar tidak melihat Sangha saat ini mampu membawa semangat demokrasi sangha ke dalam masyarakat dan sistem politik. Sebaliknya Sangha cenderung mengambil jarak dengan persoalan derita masyarakat, bersifat pasif-apatis, bahkan menjadi pendukung kekuasaan dan terjebak ke dalam kultur feodal. Sekarang ditambah menjadi pendukung kapitalis yang banyak menimbulkan ketidakadilan dan kesengsaraan. Padahal menurut Ambedkar, hakekat Sangha adalah pembebasan di mana tanpa kesediaan untuk “dikuasai” oleh realitas derita manusia, maka nibbana atau pembebasan dari derita tidak dapat diraih.

 

Kritik lainnya terhadap Sangha juga muncul dari Dr Sulak Sivaraksa, tokoh demokrasi Thailand. Bagi Sulak, kesadaran di dalam Buddhis amat fundamental. Manusia harus memiliki kesadaran atas dirinya sendiri dan masyarakat, sadar atas apa yang sesungguhnya terjadi. Namun kelemahan di dalam komunitas Buddhis adalah “kesadaran atas apa yang sesungguhnya terjadi” selalu dipahami hanya di dalam dunia ide dan pikiran. Yang diperlukan saat ini adalah kesadaran mengenai apa yang benar-benar terjadi di dalam “praktek dan realitas”, terutama mengenai realitas derita yang senyatanya yang dipraktekkan dan berlangsung di masyarakat: realitas kaum buruh, kaum tani, kaum miskin lainnya, dan bagaimana proses pemiskinan dan kesengsaraan ini disebabkan. (Hal ini memerlukan pembahasan yang lebih lanjut.)

 

Kesadaran juga menyangkut apa yang terjadi di dalam diri sendiri, untuk melihat di dalam praktek apakah manusia sedang dikontrol oleh cinta, solidaritas, keserakahan, kebencian, atau rasa takut. Hal ini bagi Sulak penting untuk diatasi. Karena bila ketakutan mengontrol kehendak bebas manusia, akan membuat nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan menjadi mati, demikian juga terhadap para biku. Bila para biku ingin berguna bagi masyarakat, mereka harus kritis terhadap kekuasaan. Dan inilah politik yang diajarkan Buddha. Politik dan kekuasaan di dalam Buddhis dipahami seperti sebuah kereta. Ia tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, ia akan menjadi kekuasaan yang korup. Dan dalam kondisi ini, Sangha atau komunitas spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran. Dan sayangnya seperti yang diungkapkan Sulak bahwa peran Sangha untuk mengimbangi roda kekuasaan dengan roda kebenaran sering tidak berjalan. Sebaliknya banyak para biku yang ikut hanyut dan menjadi pendukung kekuasaan dan kemapanan yang korup.

 

Di tengah situasi tersebut peran komunitas Buddhis seringkali justru menjadi penghambat dalam proses demokrasi di Indonesia. Meski ini juga dialami oleh komunitas lain, terutama di masa-masa rezim feodal-militeristik Orde Baru yang menghegemoni seluruh kehidupan masyarakat. Namun, ruang demokrasi yang amat sempit saat itu ternyata tidak sampai mematikan keberanian kaum muda mahasiswa, termasuk yang dilakukan oleh mahasiswa Buddhis. Hal ini membuat perjuangan meletakkan demokrasi ke dalam konteks masyarakat dan negara tidak harus selalu dipahami secara agama sebagai lembaga. Ia lebih kepada nilai dan filsafat yang menuntun dan menyemangati proses pendemokrasian kehidupan. Hal ini menyangkut pemahaman Buddhis terhadap harkat dan martabat kemanusiaan itu sendiri yang harus selalu dibela dan diperjuangkan.

 

Hal ini amat penting karena demokrasi itu sendiri bukan sistem yang sempurna, bahkan memiliki banyak kekurangan. Dalam banyak hal demokrasi sering mengilusi manusia tentang perwakilan, bahwa semua orang memiliki hak yang sama, bahwa seakan-akan kekuasaan sejati benar-benar ada di tangan rakyat yang membuat mereka pasrah dan menyerahkan nasibnya sebagai orang yang terwakili. Hal ini membuat demokrasi di dalam praktek menjadi pelimpahan kekuasaan dan kekuatan masyarakat kepada segelintir golongan manusia yang disebut parlemen atau pemerintah. Segelintir orang ini kemudian mengkristal menjadi orang-orang yang hidup “khusus” untuk berkuasa, “khusus” untuk menerima limpahan kekuasaan rakyat, yang membuat kekuasaan tidak lagi di tangan rakyat melainkan ada di orang-orang khusus yang hidup dan bekerja untuk berkuasa. Persoalan muncul ketika kekuasaan yang mengkristal itu kemudian dengan atas nama “demokrasi-kepentingan bersama-pembangunan-hukum-konstitusional” digunakan penguasa dan seluruh aparatnya untuk menindas orang-orang yang mereka wakili, para pemilik otentik dari kekuasaan yang sejati. Dan orang kecil lah yang selalu dirugikan karena negara dan kekuasaan di dalam praktek memang berpihak kepada mereka yang kuat kuasa bermodal besar.

 

Karena itu hakekat demokrasi agar tidak menjadi ilusi bukan lagi persoalan formalitas mekanisme, namun jauh menyentuh persoalan nilai yang menjamin harkat dan martabat kemanusiaan. Kita harus tetap memperjuangkan sesuatu yang menyangkut keadilan, misalnya, karena keadilan lebih penting dari persoalan formalitas demokrasi. Kita harus tetap memperjuangkan keadilan sekalipun “mayoritas kelas penguasa” tidak sependapat. Begitupun kita harus menentang korupsi karena ia merusak dan tidak benar sekalipun mayoritas penguasa menerimanya. Seringkali atas nama demokrasi, sistem yang dibentuk mengorbankan nilai-nilai sehingga demokrasi tidak selalu dapat diandalkan untuk menentukan baik dan buruk, terutama ketika mayoritas penguasa tidak lagi berpegangan pada nilai moralitas. Dalam hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang menginjak-injak harkat dan martabat kemanusiaan ini, bagaimanapun demokrasi bukanlah jawaban yang memuaskan.

 

Komitmen terhadap nilai-nilai inilah yang membuat Sangha tidak dapat berdiam diri dan terlibat di dalam proses demokrasi itu sendiri. Meski pada awalnya terjadi tarik menarik antara kaum tua yang cenderung arif dengan kaum muda yang sedang bersemangat menggelorakan jiwa demokrasi, toh Sangha secara diam-diam juga berperan di balik layar. Terutama di dalam Buddhis memang dikenal istilah peran kebodhisattvaan atau kenabian. Di mana di dalam kondisi damai, Sangha cenderung menjalankan peran kebikuan yang mempertahankan status quo, bersifat konservatif, dan keras dalam menolak perubahan. Namun dalam kondisi kacau yang penuh ketidakadilan, Sangha diminta untuk meninggalkan peran kebikuannya dengan menjalankan peran kebodhisattvannya yang akan memanfaatkan ketidakstabilan untuk mendukung suatu perubahan. Itulah yang sempat dilakukan oleh sebagian biku di Indonesia secara diam-diam pada masa-masa reformasi 2008. Namun, mengapa peran itu harus dilakukan di balik layar?

 

Mungkin ini selain soal latar belakang riwayat hidup dan kondisi posisi aktual mereka saat itu, juga karena soal perhitungan pilihan dan kesetiaan kepada panggilan situasi. Atau mungkin juga persoalan sejarah Indonesia sendiri. Seperti yang pernah ditulis almarhum Romo Mangun bahwa dalam revolusi 1945 dulu pun, kaum muda lah yang berani menggarap soal-soal luar biasa yang diberikan oleh zaman, bukan kaum tua. Tetapi paling tidak kaum tua juga cukup ksatria untuk berdiri di belakang layar anak-anak mereka. Dan berhasil lah revolusi 1945 yang didobrak dan disiasati oleh kaum muda, namun didukung kuat oleh aparatur kaum tua yang merestui langkah anak-anak mereka.

 

Additional information